Kamis, 30 Agustus 2018

BAGAIMANA LEPAS DARI PASAL PENADAHAN?


Saat melakukan transaksi jual beli barang, terkadang atau kebanyakan pembeli tertarik dengan barang dengan nilai dibawah harga pasar. Tindakan ini merupakan hukum pasar g tidak tertulis dan hal lumrah. Apalagi jika berniat menjual lagi dengan harga pasaran tentu akan mendapat keuntungan dari selisih harga pembelian awal.

Namun, kadangkala keinginan mendapat selisih atau keuntungan tersebut  -jika tidak hati-hati- dapat menjerat pembeli dalam masalah hukum pidana. Pasal 480 KUHPidana tentang pertolongan (jahat) atau dalam praktik pidana dikenal dengan pasal penadah (heling) menyatakan hal sebagai berikut :
“…..hukuman penjara selama-lamanya 4 tahun ….dihukum ; (1) karena sebagai sekongkol, barangsiapa yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah atau karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut disangkanya diperoleh karena kejahatan. (2) barangsiapa yang mengambil keuntungan dari hasil sesuatu barang, yang diketahuinya atau yang patut harus disangkanya barang itu diperoleh karena kejahatan.”

Ketentuan Pasal 480 KUHPidana mengatur 2 (dua) perbuatan yakni perbuatan bersekongkoldan perbuatan mengambil keuntungan dari barang yang diperoleh karena kejahatan.

Jika si pembeli memang mengetahui bahwa barang tersebut berasal dari kejahatan maka ia pasti dijerat penyidik dengan pasal 480 ayat (1) KUHPidana yakni sebagai sekongkol atau yang biasa disebut dengan “penadah”.
Jika si pembeli tidak tahu asal perolehan barang tetapi si pembeli dari awal sudah curiga namun tetap membeli barang tersebut maka si pembeli dapat dijerat dengan Pasal 480 ayat (2) KUHPidana.

Mencermati tentang ketentuan Pasal 480 KUHP diatas khususnya tentang “mengetahui atau patut dapat menyangka” bahwa barang tersebut berasal dari suatu kejahatan apa bukan, rasanya sangat sulit. Umumnya penyidik enggan membuktikan apakah benar si pembeli ini tidak tahu atau tidak curiga terhadap asal usul barang yang dibelinya. Penyidik biasanya hanya berpatokan pada keterangan si penjual, dimana ia menjual dan siapa pembelinya. Kecurigaan atau dugaan awal penyidik untuk menjerat pembeli sebagai penadah hasil kejahatan biasanya terkonsentrasi pada keadaan atau cara dibelinya barang tersebut, misalnya dibeli dengan dibawah harga pasaran, dibeli dengan cara sembunyi-sembunyi atau sebagainya. Kecurigaan penyidik yang demikian tentunya akan merugikan si pembeli yang beritikad baik yang secara hukumnya sudah seharusnya dilindungi pula oleh si penyidik tersebut.

Pada dasarnya sifat “asal dari kejahatan” yang melekat pada suatu barang dapat hilang apabila barang tersebut telah diterima oleh pembeli yang beritikad baik (te goedetrouw). Atas dasar itikad baik dan sepanjang itikad baik tersebut dapat dibuktikan, misalnya dengan kwitansi pembelian dan atau berdasarkan keterangan saksi-saksi yang ada, maka tentunya pembeli dapat lepas dari jeratan hukum sebagai penadah.

NOOR AUFA,SH,CLA
Advocate – Legal Consultant – Mediator – Legal Auditor
+6282233868677 (Phone/WA)


www.pengacarariau.com
www.pengacaraanda.blogspot.co.id

Jumat, 03 November 2017

Perbedaan Wanprestasi Dan Perbuatan Melawan Hukum

Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum

Dalam praktek persidangan perkara perdata, sering sekali ditemukan dalam gugatan dimana Penggugat terlihat bingung membedakan antara posita-posita (uraian) yang termasuk dalam kategori wan prestasi dengan posita-posita (uraian) yang termasuk dalam hal perbuatan melawan hukum.

Umumnya para penggugat beranggapan wan prestasi merupakan bagian dari perbuatan melawan hukum (genus spesifik) dengan alasan tergugat yang tidak memenuhi pemenuhan prestasi sebagaimana mestinya jelas melakukan pelanggaran hukum terhadap hak-hak penggugat. Dilihat sekilas, anggapan ini benar adanya, namun ketika akan dituangkan dalam bentuk gugatan tertulis, maka gugatan tidak boleh mencampuradukkan antara wan prestasi dengan perbuatan melawan hukum karena akan menimbulkan kekeliruan dalam gugatan yang diajukan yang pada akhirnya mengaburkan tujuan gugatan itu sendiri serta bisa mengakibatkan Gugatan Tidak Dapat Diterima (Niet On Vankelijk Verklaard/NO).

Ada beberapa perbedaan prinsipil antara wan prestasi dengan perbuatan melawan hukum, terdiri atas hal-hal sebagai berikut :

Sumber
Wan prestasi timbul dari persetujuan (agreement) dimana untuk mendalilkan subjek hukum telah wan prestasi harus ada lebih dahulu perjanjian antara kedua belah pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUHPerdata :
“Supaya terjadi persetujuan yang sah perlu dipenuhi empat syarat: kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; kecakapan untuk membuat suatu perikatan; suatu pokok persoalan tertentu; suatu sebab yang tidak terlarang."

Wan prestasi terjadi karena debitur (yang dibebani kewajiban) tidak memenuhi isi perjanjian yang disepakati, seperti :
a. tidak dipenuhinya prestasi sama sekali,
b. tidak tepat waktu dipenuhinya prestasi,
c. tidak layak memenuhi prestasi yang dijanjikan,


Perbuatan melawan hukum lahir karena undang-undang sendiri yang telah menentukannya, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1352 KUHPerdata :
"Perikatan yang lahir karena undang-undang, timbul dari undang-undang sebagai undang-undang atau dari undang-undang sebagai akibat perbuatan orang".
Artinya, perbuatan melawan hukum semata-mata berasal dari undang-undang, bukan karena perjanjian yang berdasarkan persetujuan dan perbuatan melawan hukum merupakan akibat perbuatan manusia yang ditentukan sendiri oleh undang-undang.
Ada 2 (dua) kriteria perbuatan melawan hukum yang merupakan akibat perbuatan manusia, yakni perbuatan manusia yang sesuai dengan hukum (rechtmatig, lawfull) atau yang tidak sesuai dengan hukum (onrechtmatig, unlawfull). Dari 2 (dua) kriteria tersebut akan mendapatkan apakah bentuk perbuatan melawan hukum tersebut berupa pelanggaran pidana (factum delictum), kesalahan perdata (law of tort) atau masuk dalam dua kategori ini berupa delik pidana sekaligus dengan kesalahan perdata. Dalam hal terdapat kedua kesalahan (delik pidana sekaligus kesalahan perdata) maka sekaligus pula dapat dituntut hukuman pidana dan pertanggungjawaban perdata (civil liability).


Timbulnya hak menuntut.
Pada wan prestasi diperlukan lebih dahulu suatu proses seperti adanya pernyataan lalai (inmorastelling, negligent of expression, inter pellatio, ingeberkestelling). Hal ini sebagaimana dimaksud pasal 1243 KUHPerdata yang menyatakan :
“Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu” atau jika ternyata dalam perjanjian tersebut terdapat klausul yang mengatakan debitur langsung dianggap lalai tanpa memerlukan somasi (summon) atau peringatan.

Hal ini diperkuat oleh Yurisprudensi Mahkamah Agung No. 186 K/Sip/1959 tanggal 1 Juli 1959 yang menyatakan :
“apabila perjanjian secara tegas menentukan kapan pemenuhan perjanjian, menurut hukum, debitur belum dapat dikatakan alpa memenuhi kewajiban sebelum hal itu dinyatakan kepadanya secara tertulis oleh pihak kreditur”.

Dalam perbuatan melawan hukum, hak menuntut dapat dilakukan tanpa diperlukan somasi. Sekali timbul perbuatan melawan hukum, saat itu juga pihak yang dirugikan langsung dapat menuntutnya (action, claim, rechtvordering).


Tuntutan Ganti Rugi (Compensation, Indemnification)
Pada wan prestasi, perhitungan ganti rugi dihitung sejak saat terjadinya kelalaian. Hal ini sebagaimana diatur Pasal 1237 KUHPerdata :  
“Pada suatu perikatan untuk memberikan barang tertentu, barang itu menjadi tanggungan kreditur sejak perikatan lahir. Jika debitur lalai untuk menyerahkan barang yang bersangkutan, maka barang itu, semenjak perikatan dilakukan, menjadi tanggungannya”.

Pasal 1246 KUHPerdata menyatakan :
“Biaya, ganti rugi dan bunga, yang boleh dituntut kreditur, terdiri atas kerugian yang telah dideritanya dan keuntungan yang sedianya dapat diperolehnya”.

Berdasarkan pasal 1246 KUHPerdata tersebut, dalam wan prestasi, penghitungan ganti rugi harus dapat diatur berdasarkan jenis dan jumlahnya secara rinci seperti kerugian kreditur, keuntungan yang akan diperoleh sekiranya perjanjian tersebut dipenuhi dan ganti rugi bunga (interest). Dengan demikian kiranya dapat dipahami bahwa ganti rugi dalam wanprestasi (injury damage) yang dapat dituntut haruslah terinci dan jelas.

Sementara, dalam perbuatan melawan hukum, tuntutan ganti rugi sesuai dengan ketentuan pasal 1265 KUHPerdata, tidak perlu menyebut ganti rugi bagaimana bentuknya, dan tidak perlu perincian. Dengan demikian, tuntutan ganti rugi didasarkan pada hitungan objektif dan konkrit yang meliputi materiil dan moril. Dapat juga diperhitungkan jumlah ganti rugi berupa pemulihan kepada keadaan semula (restoration to original condition, herstel in de oorpronkelijke toestand, herstel in de vorige toestand).

Meskipun tuntutan ganti rugi tidak diperlukan secara terinci, beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung membatasi tuntutan besaran nilai dan jumlah ganti rugi, seperti :

Putusan Mahkamah Agung No. 196 K/ Sip/ 1974 tanggal 7 Oktober 1976 menyatakan “besarnya jumlah ganti rugi perbuatan melawan hukum, diperpegangi prinsip Pasal 1372 KUHPerdata yakni didasarkan pada penilaian kedudukan sosial ekonomi kedua belah pihak”. Putusan Mahkamah Agung No. 1226 K/Sip/ 1977 tanggal 13 April 1978, menyatakan, “soal besarnya ganti rugi pada hakekatnya lebih merupakan soal kelayakan dan kepatutan yang tidak dapat didekati dengan suatu ukuran”.

NOOR AUFA,SH,CLA
Advocate – Legal Consultant – Mediator –Legal Auditor

www.pengacarariau.com
www.konsultasihukumriau.blogspot.co.id
www.pengacaraanda.blogspot.co.id


Rabu, 01 November 2017

Kesalahan dan Kelalaian Dokter Dalam Hukum Indonesia

Tuntutan terhadap dokter, pada umumnya dilakukan oleh pasien yang merasa tidak puas terhadap pengobatan atau pelayanan medis yang dilakukan dokter dalam proses perawatannya. Ketidakpuasan tersebut dapat terjadi karena "hasil" yang dicapai dalam upaya pengobatan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan pasien dan keluarganya. Hasil pengobatan yang mengecewakan serta tidak sesuai harapan pasien atau keluarganya, seringkali dianggap sebagai kelalaian atau kesalahan dokter dalam melaksanakan profesinya dan cenderung dianggap sebagai malpraktik dokter.

Hariyani (2005) mengemukakan dalam kaitan hubungan antara pasien dan dokter, penyebab dari ketidakpuasan tersebut pada umumnya karena kurangnya komunikasi antara dokter dengan pasiennya, terutama terkait masalah "informed consent". Perselisihan atau sengketa yang terjadi antara dokter dan pasien oleh Hariyani disebut dengan istilah "sengketa medik".


Beberapa unsur dari persetujuan tindakan medik yang sering dikemukakan pasien sebagai alasan penyebab sengketa medik ini adalah :

1.    Isi informasi (tentang penyakit yang diderita pasien) dan alternatif yang bisa dipilih pasien tidak disampaikan secara jelas dan lengkap.
2.    Saat memberikan informasi seyogyanya sebelum terapi mulai dilakukan, terutama dalam hal tindakan medis yang beresiko tinggi dengan kemungkinan adanya perluasan dalam terapi atau tindakan medik.
3.    Cara menyampaikan informasi tidak memuaskan pasien, karena pasien merasa bahwa dirinya tidak mendapatkan informasi yang jujur, lengkap dan benar yang ingin didapatkannya secara lisan dari dokter yang merawatnya.
4.    Pasien merasa tidak diberi kesempatan untuk menentukan pilihan atau alternatif pengobatan yang telah dilakukan terhadap dirinya, sehingga hak pasien untuk menentukan dirinya sendiri (self determination) diabaikan oleh dokter.
5.    Kadang-kadang pasien hanya mendapatkan informasi dari perawat (paramedis), padahal menurut hukum yang berhak memberikan informasi adalah dokter yang menangani pasien tersebut.
Apakah tidak diberikannya informasi ini termasuk dalam kategori kelalaian dokter?
Menurut Fuady (2005) untuk dapat diajukannya gugatan atas dasar ketiadaan informed consent harus dipenuhi beberapa unsur yuridis sebagai berikut :
1.     Adanya kewajiban dokter untuk mendapatkan persetujuan (consent) dari pasien.
2.     Kewajiban tersebut tidak dilaksanakan tanpa justifikasi yuridis.
3.     Adanya kerugian dipihak pasien.
4.     Adanya hubungan sebab akibat antara ketiadaan informed consent dan kerugian tersebut.

Dalam buku hukum medik (medical law), Guwandi (2004) menyatakan bahwa "kelalaian" sebagai terjemahan dari 'negligence", yang dalam arti umum bukanlah merupakan suatu pelanggaran hukum maupun kejahatan. Seseorang dapat dikatan lalai kalau orang tersebut bersikap acuh tak acuh atau tidak peduli, dan tidak memperhatikan kepentingan orang lain sebagaimana kepatutan yang berlaku dalam pergaulan dimasyarakat. Selama akibat dari kelalaian ini tidak membawa kerugian atau mencederai orang lain, maka tidak ada akibat hukum yang dibebankan kepada orang tersebut, karena hukum tidak mencampuri hal-hal yang dianggap sepele (de minimus not curat lex, the law does not concern itself with trifles).

Kelalaian yang terkena sanksi sebagai akibat hukum yang harus dipertanggungjawabkan oleh pelaku, bila kelalaian ini sudah menyebabkan terjadinya kerugian baik kerugian harta benda maupun hilangnya nyawa atau cacat pada anggota tubuh seseorang.

Untuk menentukan adanya kelalaian dokterHariyani (2005) menyebutkan 4 unsur yang disingkat dengan "4D" yaitu sebagai berikut :
a.    Adanya duty (kewajiban) yang harus dilaksanakan.
b.    Adanya derelection of that duty (penyimpangan kewajiban)
c.    Terjadinya damaged (kerusakan / kerugian)
d.    Terbuktinya direct causal relationship (berkaitan langsung) antara pelanggaran kewajiban dengan kerugian.

Bila kesalahan atau kelalaian tersebut dihubungkan dengan hukum pidana, maka Jonkers (Guwandi, 2004) mengemukakan 4 unsur sebagai berikut :
a.    Perbuatan tersebut bertentangan dengan hukum (wederrechtelijkheid)
b.    Akibat dari perbuatan bisa dibayangkan (voorzeinbaarheid)
c.    Akibat perbuatan sebenarnya bisa dihindari (vermijdbaarheid)
d.    Perbuatan tersebut dapat dipersalahkan kepadanya (verwijtbaarheid), karena sebenarnya pelaku sudah dapat membayangkan dan dapat menghindarinya.

Menurut hukum pidana (Nasution, 2005)kelalaian terbagi menjadi 2 :
a.     "Kealpaan perbuatan" ialah perbuatannya sendiri sudah merupakan suatu peristiwa pidana, sehingga untuk dipidananya pelaku tidak perlu melihat akibat yang timbul dari perbuatan tersebut (lihat pasal 205 KUHP)
b.     "Kealpaan akibat" ialah akibat yang timbul merupakan suatu peristiwa pidana bila akibat dari kealpaan tersebut merupakan akibat yang dilarang oleh hukum pidana, misalnya terjadinya cacat atau kematian sebagai akibat yang timbul dari suatu perbuatan (lihat pasal 359, 360, dan 361 KUHP)

Nasution (2005) mengemukakan pendapat Picard (1984) tentang 3 katergori yang dapat dipakai sebagai pedoman untuk mengetahui apakah dokter telah berbuat dalam suasana dan keadaan yang sama sebagai berikut :
1.     Pendidikan, pengalaman, dan kualifikasi-kualifikasi lain yang berlaku untuk tenaga kesehatan
2.     Tingkat resiko dalam prosedur penyembuhan / perawatan
3.     Suasana, peralatan, fasilitas, dan sumber-sumber lain yang tersedia bagi tenaga kesehatan.

C. Berkhouwer dan L.D. Vorstman (Nasution, 2005) mengemukakan 3 faktor yang menjadi penyebab kesalahan dokter dalam melakukan profesi, yaitu :
1. Kurangnya pengetahuan
2. Kurangnya pengalaman
3. kurangnya pengertian

Dari semua pendapat diatas, ada 2 pakar hukum yang memberikan kesimpulan sebagai berikut :
Guwandi (2005) menyatakan bahwa untuk menyebutkan bahwa seorang dokter telah melakukan kelalaian, maka harus dapat dibuktikan hal-hal sebagai berikut :
a.    Bertentangan dengan etika, moral dan disiplin
b.    Bertentangan dengan hukum
c.    Bertentangan dengan standar profesi medis
d.    Kekurangan ilmu pengetahuan atau tertinggal ilmu didalam profesinya yang sudah berlaku umum dikalangan tersebut.
e.    Menelantarkan (negligence, abandonment), kelalaian, kurang hati-hati, acuh, kurang peduli terhadap keselamatan pasien, kesalahan menyolok dan sebagainya.

Nasution (2005) menyimpulkan untuk menentukan adanya kealpaan harus terpenuhi adanya 3 unsur sebagai berikut :
a.     Pelaku berbuat lain dari apa yang seharusnya diperbuat menurut hukum tertulis maupun tidak tertulis, sehingga ia sebenarnya telah melakukan suatu perbuatan (termasuk tidak berbuat) yang melawan hukum.
b.    Pelaku telah berlaku kurang hati-hati, ceroboh, dan kurang berpikir panjang.
c.     Perbuatan pelaku itu dapat dicela, oleh karenanya pelaku harus bertanggungjawab atas akibat perbuatan tersebut.

NOOR AUFA,SH,CLA
Advocate - Legal Consultant - Mediator - Legal Auditor
+6282233868677 (Phone/WA)
www,pengacarariau.com
www.pengacaraanda.blogspot.co.id
www.advokat-auditorhukum.blogspot.co.id





Hak Uji Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung

Berikut matriks persyaratan dan tata cara pengajuan Hak Uji peraturan perundang-undangan ke Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi:

PENGAJUAN JUDICIAL REVIEW KE MAHKAMAH AGUNG
PENGAJUAN JUDICIAL REVIEW KE MAHKAMAH KONSTITUSI
Kewenangan Mahkamah Agung (“MA”) terkait dengan judicial review adalah sebagai berikut:
a.   MA mempunyai wewenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.
b.   MA menyatakan tidak sah peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang berlaku.
(Lihat Pasal 31 ayat [1] dan [2] UU 5/2004)

Permohonan pengujian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang diajukan langsung oleh pemohon atau kuasanya kepada MA dan dibuat secara TERTULIS dan rangkap sesuai keperluan dalam Bahasa Indonesia (lihat Pasal 31A ayat [1]  UU 3/2009).

Permohonan judicial reviewhanya dapat dilakukan oleh pihak yang menganggap haknya dirugikan oleh berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang, yaitu:
a.   perorangan warga negara Indonesia;
b.   kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembanganmasyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; atau
c.   badan hukum publik atau badan hukum privat.
(lihat Pasal 31A ayat [2] UU 3/2009)

Permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:
a.   nama dan alamat pemohon;
b.   uraian mengenai perihal yang menjadi dasar permohonan dan menguraikan dengan jelasbahwa:
1.        materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang dianggap bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
2.        pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang berlaku; dan
c.   hal-hal yang diminta untuk diputus.
(lihat Pasal 31A ayat [3] UU 3/2009)

Permohonan judicial review ke MA diatur lebih rinci dalam Perma No. 1 Tahun 2004 tentang Hak Uji Materiil (“Perma 1/2004”)dengan menggunakan terminologi Permohonan Keberatan. Permohonan keberatan diajukan kepada MA dengan cara:
a.   Langsung ke MA; atau
b.   Melalui Pengadilan Negeri yang membawahi wilayah hukum tempat kedudukan Pemohon. (lihat Pasal 2 ayat [1] Perma 1/2004)
c.   Permohonan Keberatan diajukan dalam tenggang waktu 180 hari sejak ditetapkan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan (Pasal 2 ayat [4] Perma 1/2004).
d.   Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan yang besarnya akan diatur tersendiri (Pasal 2 ayat [5] Perma 1/2004). 
e.   Dalam hal permohonan keberatan diajukan langsung ke Mahkamah Agung (Pasal 3 Perma 1/2004):

i.        Didaftarkan di Kepaniteraan Mahkamah Agung;
ii.       Dibukukan dalam buku register permohonan;
iii.     Panitera Mahkamah Agung memeriksa kelengkapan berkas dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada Pemohon Keberatan atau kuasanya yang sah;

f.     Dalam hal permohonan keberatan diajukan melalui Pengadilan Negeri (Pasal 4 Perma 1/2004):
i.    Didaftarkan pada kepaniteraan Pengadilan Negeri;
ii.   Permohonan atau kuasanya yang sah membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima;
iii. Permohonan dibukukan dalam buku register permohonan;
iv.    Panitera Pengadilan Negeri memeriksa kelengkapan permohonan keberatan yang telah didatarkan oleh Pemohon atau kuasanya yang sah, dan apabila terdapat kekurangan dapat meminta langsung kepada pemohon atau kuasanya yang sah.

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 huruf a jo. Pasal 10  UU MK, salah satu kewenangan Mahkamah Konstitusi (“MK”) adalah menguji undang-undang terhadap UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Pemohon judicial reviewadalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya undang-undang, yaitu (Pasal 51 ayat [1] UU MK):
a.        perorangan warga negara Indonesia;
b.        kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
c.        badan hukum publik atau privat; atau
d.        lembaga negara.

Permohonan wajib dibuat dengan uraian yang jelas mengenai pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (lihat Pasal 30 ayat [1] UU MK).

Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dan ditandatangani oleh Pemohon atau kuasanya dalam 12 rangkap (lihat Pasal 29 UU MK) yang memuat sekurang-kurangnya:
a.   Identitas Pemohon, meliputi:
i.   Nama
 ii.  Tempat tanggal lahir/ umur -  Agama
             iii.   Pekerjaan
 iv.   Kewarganegaraan
v.  Alamat Lengkap
vi. Nomor telepon/faksimili/telepon selular/e-mail (bila ada)

b.   Uraian mengenai hal yang menjadi dasar permohonan yang meliputi:
i.   kewenangan Mahkamah;
ii.   kedudukan hukum (legal standing) Pemohon yang berisi uraian yang jelas mengenai anggapan Pemohon tentang hak dan/atau kewenangan konstitusional Pemohon yang dirugikan dengan berlakunya UU yang dimohonkan untuk diuji;
iii.  alasan permohonan pengujian diuraikan secara jelas dan rinci.
 c.   Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian formil, yaitu:
i.        mengabulkan permohonan Pemohon;
ii.    menyatakan bahwa pembentukan UU dimaksud tidak memenuhi ketentuan pembentukan UU berdasarkan UUD 1945;
iii.   menyatakan UU tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

d.   Hal-hal yang dimohonkan untuk diputus dalam permohonan pengujian materiil, yaitu:
i.     mengabulkan permohonan Pemohon;
ii.    menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud bertentangan dengan UUD 1945;
iii.   menyatakan bahwa materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian dari UU dimaksud tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
(lihat Pasal 31 UU MK jo. Pasal 5 Peraturan MK No. 06/PMK/2005 Tahun 2005 tentang Pedoman Beracara dalam Perkara Pengujian Undang-Undang – Peraturan MK 6/2005).

Pengajuan permohonan harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut yaitu alat bukti berupa (Pasal 31 ayat [2] jo. Pasal 36 UU MK):
a.       surat atau tulisan;
b.     keterangan saksi;
c.     keterangan ahli;
d.      keterangan para pihak;
e.      petunjuk; dan
f.       alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirimkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu.  

Di samping diajukan dalam bentuk tertulis permohonan juga diajukan dalam format digital yang disimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa disket, cakram padat (compact disk) atau yang serupa dengan itu (lihat Pasal 5 ayat [2] Peraturan MK 6/2005).

Tata cara pengajuan permohonan:
1.   Permohonan diajukan kepada Mahkamah melalui Kepaniteraan.
2.   Proses pemeriksaan kelengkapan administrasi permohonan bersifat terbuka yang dapat diselenggarakan melalui forum konsultasi oleh talon Pemohon dengan Panitera.
3.   Petugas Kepaniteraan wajib memeriksa kelengkapan alat bukti yang mendukung permohonan sekurang-kurangnya berupa:
a.        Bukti diri Pemohon sesuai dengan kualifikasi sebagaimana dimaksud Pasal 51 ayat (1) Undang-undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:
i.     foto kopi identitas diri berupa KTP dalam hal Pemohon adalah perorangan warga negara Indonesia,
ii.    bukti keberadaan masyarakat hukum adat menurut UU dalam hal Pemohon adalah masyarakat hukum adat,
iii.   akta pendirian dan pengesahan badan hukum baik publik maupun privat dalam hal Pemohon adalah badan hukum,
iv.   peraturan perundang-undangan pembentukan lembaga negara yang bersangkutan dalam hal Pemohon adalah lembaga negara.
b.        Bukti surat atau tulisan yang berkaitan dengan alasan permohonan;
c.        Daftar talon ahli dan/atau saksi disertai pernyataan singkat tentang hal-hal yang akan diterangkan terkait dengan alasan permohonan, serta pernyataan bersedia menghadiri persidangan, dalam hal Pemohon bermaksud mengajukan ahli dan/atau saksi;
d.        Daftar bukti-bukti lain yang dapat berupa informasi yang disimpan dalam atau dikirim melalui media elektronik, bila dipandang perlu.
4.   Apabila berkas permohonan dinilai telah lengkap, berkas permohonan dinyatakan diterima oleh Petugas Kepaniteraan dengan memberikan Akta Penerimaan Berkas Perkara kepada Pemohon.
5.   Apabila permohonan belum lengkap, Panitera Mahkamah memberitahukan kepada Pemohon tentang kelengkapan permohonan yang harus dipenuhi, dan Pemohon harus sudah melengkapinya dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja sejak diterimanya Akta Pemberitahuan Kekuranglengkapan Berkas.
6.   Apabila kelengkapan permohonan sebagaimana dimaksud ayat (7) tidak dipenuhi, maka Panitera menerbitkan akta yang menyatakan bahwa permohonan tersebut tidak diregistrasi dalam BRPK dan diberitahukan kepada Pemohon disertai dengan pengembalian berkas permohonan.
7.   Permohonan pengujian undang-undang diajukan tanpa dibebani biaya perkara.
(lihat Pasal 6 Peraturan MK 6/2005).


Disarikan dari berbagai sumber
NOOR AUFA,SH,CLA
Advokcate-Legal Consultant-Mediator-Legal Auditor
+6282233868677 (Phone/WA)
www.pengacarariau.com